Menjadi Warga Global dengan Etika Aswaja

Ditulis oleh admin, dipublikasi pada 22 August 2022 dalam kategori Ruang Guru

KH. Noor Rochman Fauzan, B.Ed, MA

Pada dasarnya setiap insan khususnya muslim ditakdirkan menjadi warga global. Berpijak pada tujuan penciptaan Allah subhanahu wa taala bahwa manusia diciptakan mengemban tugas khalifatullah fil ardhi, manusia dengan sendirinya menjadi warga globa, menjadi warga bumi. Bukan khalifatullah fi Indonesia, fi Jepara, melainkan fil ardhi.

Oleh karena itu gambar bola bumi (globe) pd lambang NU itu menunjuk ke pemahaman takdir manusia sebagai khalifah fil ardh. Hebat sekali perumus lambang NU. Kita patut bersyukur.

Namun begitu harus sadari bahwa kita sebagai bangsa Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara lain dalam semua bidang. Misalnya pengalaman saya keliling eropa, di Belanda dan German jalan-jalan di mall, anak teman saya usia SD tiba-tiba hilang. Teman saya ini tidak hawatir, gampang mencarinya, tinggal lihat di book corner di mall itu. Pasti ketemu. Tidak akan hilang. Anak-anak disana gemar membaca buku. Buku apa saja, dimana saja mereka membaca.

Saat di Paris saya malu sekali, di gerbong kereta api semua penumpang membaca buku. Tua muda membaca buku. Saya mlongo, terheran dan malu sendiri. Itu benar terjadi. Warga negara disana lebih melek ketimbang kita. Mereka lebih mau dan memahami betul tugasnya sbg khalifah. Bisa saja kemajuan negara mereka lalu mereka merasa pantas menjajah negara lain yg terbelakang, ya supaya maju.

Saat keliling eropa saya ditemani Gus Idris, putra KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saat di London kami menginap di kediaman Bapak Royandi putra Almaghfurlah Kiyai Abdullah Abbas Buntet Cirebon. Kebetulan Bapak Royandi beristri orang Perancis dan bekerja di KBRI London.

Contoh lain, ketika saya belajar di Riyadh, sering bertemu orang Indonesia yg kerap berada di pondok muqimin, salah satunya bertemu Gus Ulinnuha putra KH. Arwani Amin. Suatu waktu kami melihat anak-anak belajar Al-Quran, nah Gus Ulin tercengang melihat anak-anak kecil menghafalkan quran di masjidil haram. “Oh ternyata anak kecil bisa menghafalkan juga”, kata beliau. Lalu beliau mendirikan Yanbu’ul Quran di dusun Krandon Kudus khusus anak-anak.

Membaca literatur diberbagai negara sembari memperhatikan peninggalan islam yang ada di eropa, seperti pernah saya lihat di Spanyol, bisa kita katakan bahwa islam berandil besar dalam mengglobalisasikan ilmu pengetahuan. Bahkan islamlah yang melakukan itu. Sebelumnya ilmu pengetahuan dan peradaban yg dihasilkannya hanya terbatas di bangsa atau negara tertentu saja, misal di Mesir, China, India, Yunani, dll. Ilmu pengetahuan hanya utk mereka sendiri. Islam datang menerobos sekat-sekat itu. Dengan Islam ilmu pengetahuan jadi mengglobal, dipelajari siapa saja dimanapun. Itu wujud nyata dr tugas muslim sebagai khalifah fil ardh.

Selama studi di luar negeri pada tahun 80an saya selalu ambil kesempatan keliling dunia, ke banyak negara, Inggris, Belanda, Perancis, Spanyol. Memang ada jatah untuk pulang kampung dari pemerintah Arab Saudi, namun saya selalu gunakan untuk jalan-jalan dalam rangka siiru fil ardhi

Sebagai nahdliyin kita perlu menerapkan nilai-nilai keNUan dalam interaksi global, bersikap tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), ta’addul (adil tegak lurus). Keempat nilai ini harus tercermin dalam sikap dan menjadi kacamata kita dalam pergaulan global termasuk dalam bermedia sosial. (LR)