PEMBELAJARAN MAKNA GANDUL DI SDUT BUMI KARTINI

Ditulis oleh Iga Kurniawan, M.Pd, dipublikasi pada 18 August 2022 dalam kategori Ruang Guru

Dalam tradisi pesantren terdapat sebuah metode memahami kitab-kitab dan naskah naskah klasik Islam yang disebut makna gandul yang sudah dikenal pada abad ke 19 (Gusmian, 2016). Secara praktis metode ini berupa pemberian makna pada tiap kata (kalimat: Arab) di bagian bawa kata tersebut menggunakan “tulisan Pegon” dengan berbagai status kata tersebut berdasarkan aturan gramatikal Arab (Nahwu dan Sorof). Tulisan Pegon sendiri adalah bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab sehingga tulisan akan tetap terlihat Arab akan tetapi bahasa yang dimuat adalah bahasa Jawa (Maymun, 2020).

Pada gramatikal Arab, status kalimat seperti mubtada, khabar, fail, maf’ul dan lain sebagainya diberi penyebutan masing-masing dalam bahasa Jawa. Mubtada disebut utawi, Khabar disebut iku, fa’il disebut opo/sopo, maf’ul disebut ing, dan seterusnya. Dalam perkembangannya status kalimat tersebut disingkat dengan inisialnya masing-masing. Mubtada disingkat “,” م  khabar disingkat ” “خ fa’il disingkat “” فا dan maf’ul disingkat “” مف  (Manduri, t.th).

Ada setidaknya tiga kelebihan dari metode makna gandul tersebut, yakni mengetahui makna kosa kata (mufrodat), mengetahui status kata tersebut dalam sebuah naskah dan translasi secara menyeluruh hingga memahami pesan yang disampaikan dalam naskah tersebut. Dari metode makna gandul ini lah pesantren berhasil mencetak para sarjana muslim (ulama) yang mumpuni di bidangnya (Gusmian, 2016).

Tokoh-tokoh seperti KH Bisri Mustofa dengan tafsir Al Ibriz dan KH Misbah Zainul Mustofa dengan tafsir Al Iklil boleh disebut sebagai tokoh yang setia dengan makna gandul dalam karyanya. Dalam karyanya itu, kedua tokoh memberikan makna gandul di masing-masing lafal kemudian memberi penjelasannya secara komprehensif hingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Awal Mula Makna Gandul di SDUT

Pada umumnya pembelajaran makna gandul diberikan di pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya seperti Madrasah Diniyah,  dan pendidikan dasar di tingkat lanjut (MTs dan MA). Akan tetapi SDUT Bumi Kartini Jepara juga mengadopsi metode makna gandul dalam memahami naskah Arab.

Pembelajaran makna gandul sebenarnya masuk dalam kurikulum TPQ Bumi Kartini. Sebagaimana umumnya TPQ, Bumi Kartini juga mengikuti IMTAS (Imtihan Kahir Sanah) yang diselenggarakan oleh LMY Yanbu’a Kabupaten Jepara. IMTAS ini diikuti oleh seluruh peserta didik kelas 4. Setelah itu peserta didik dianggap selesai menjalani pendidikan formal TPQ.

Akan tetapi kebingungan terjadi ketika peserta didik tersebut masuk di kelas 5. Karena materi TPQ sudah selesai, kelas 5 dan 6 hanya dilanjutkan dengan mengaji Al Qur’an hingga khatam tanpa disusupi materi lanjutan. Para guru pun berdiskusi untuk menemukan materi yang tepat pasca IMTAS.

Pada tahun pelajaran 2019-2020 atas gagasan penulis, akhirnya pembelajaran makna gandul disepakati sebagai materi lanjutan pasca IMTAS pada kelas 5 dan 6. Kemudian dipilih kitab fikih dan tauhid untuk aplikasi makna gandul tersebut. Kitab fikih yang dipilih adalah Safinat Al Najah, karya Salim bin Sumair di kelas 5, dan Tijan Al Darori karya Nawawi Al Bantani di kelas 6. Kitab ini dipilih karena memuat materi fikih dan tauhid dasar dengan kalimat yang sederhana. Hingga saat ini kedua kitab tersebut masih diajarkan sebagai media aplikasi makna gandul.

Metode makna gandul ini diambil dengan beberapa tujuan. Pertama, mengenal dan melestarikan khazanah keilmuan ulama Nusantara. Hal ini berlandaskan pada spirit SDUT Bumi Kartini sebagai sekolah berbasis keislaman yang mewarisi nilai-nilai Nusantara. Kedua, membekali peserta didik agar tidak “kaget” sehingga mampu beradaptasi dengan pelajaran serupa bagi peserta didik yang melanjutkan pendidikan di pesantren.

Dengan demikian pembelajaran makna gandul di SDUT Bumi Kartini dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih akdemik yang berkelanjutan dan koheren dengan pendidikan jenjang selanjutnya. Di sisi lain, dengan pembelajaran makna gandul, SDUT Bumi Kartini juga turut berperan dalam melestarikan khazanah keilmuan ulama Nusantara.