Pendidikan Berlandaskan Sifat Nabi: Warisan Nasihat H. Abdul Wahid Badri

Ditulis oleh Asmal Wafa, dipublikasi pada 12 September 2025 dalam kategori Ruang Guru

Dalam setiap langkah perjalanan Yayasan Pendidikan Bumi Kartini, selalu ada jejak nasihat dari almarhum Bapak H. Abdul Wahid Badri. Beliau bukan hanya sekadar pendiri, tetapi juga seorang ayah bagi gagasan besar tentang bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan. Dalam sebuah obrolan yang selalu terkenang, beliau menekankan bahwa berjalannya sebuah pendidikan harus berakar pada sifat-sifat Nabi Muhammad ﷺ.

Menurut beliau, sifat-sifat Nabi bukan hanya teladan bagi kehidupan sehari-hari, tetapi juga fondasi dalam membangun prinsip pendidikan yang memanusiakan manusia. Empat sifat utama Nabi—Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah—menjadi pilar yang perlu dijadikan arah dalam mendidik generasi.

Shiddiq: Kejujuran Sebagai Pondasi

Shiddiq berarti selalu benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).”
(QS. At-Taubah: 119)

Dalam dunia pendidikan, shiddiq berarti menanamkan kejujuran sejak dini—siswa belajar tanpa menyontek, guru menyampaikan ilmu tanpa menutupi kebenaran, dan semua pihak menjaga integritas. Hal ini sejalan dengan prinsip “Ing Ngarso Sung Tulodo” dari Ki Hajar Dewantara, yaitu guru menjadi teladan utama bagi murid. Guru yang jujur dan konsisten akan memancarkan keteladanan, sehingga murid terbentuk karakternya. Paulo Freire pun menekankan bahwa pendidikan harus membangun kesadaran kritis—kejujuran adalah kunci agar guru dan siswa berani menghadapi realitas apa adanya. Dengan demikian, shiddiq bukan hanya sikap moral, melainkan juga fondasi bagi lahirnya generasi yang kritis dan berintegritas.

Amanah: Tanggung Jawab yang Menguatkan

Amanah bermakna tanggung jawab dan dapat dipercaya.
Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.”
(HR. Ahmad)

Sifat amanah dapat diwujudkan dalam bentuk guru yang mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab, serta siswa yang menjaga amanah untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya. Amanah ini berhubungan erat dengan konsep “Ing Madyo Mangun Karso”: guru di tengah-tengah siswa berperan menumbuhkan semangat melalui tanggung jawab bersama. John Dewey menekankan bahwa tanggung jawab itu harus nyata dalam pengalaman sehari-hari (learning by doing). Ketika guru dan siswa memegang amanah dalam proyek belajar, mereka bukan hanya memahami teori, tetapi juga mengalami bagaimana tanggung jawab melahirkan kepercayaan. Dengan begitu, amanah mendidik anak menjadi pribadi yang dapat dipercaya dalam kehidupan nyata.

Tabligh: Menyampaikan dengan Bijak

Tabligh berarti menyampaikan kebenaran dengan jelas, tepat, dan penuh kasih sayang.
Allah berfirman:

“(Kami utus) para rasul itu hanya untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan…”
(QS. Al-An‘am: 48)

Prinsip tabligh dalam pendidikan mengajarkan bahwa seorang guru harus mampu menyampaikan ilmu dengan bahasa yang mudah dipahami, sabar, dan sesuai dengan kemampuan siswa. Falsafah “Tut Wuri Handayani” dari Ki Hajar Dewantara sangat selaras dengan sifat tabligh: guru mendampingi dan memberi dorongan dari belakang, memastikan pesan sampai dengan penuh kasih sayang. Paulo Freire juga menekankan bahwa penyampaian ilmu harus berbentuk dialog, bukan monolog—artinya guru tidak mendominasi, tetapi berkomunikasi sejajar dengan siswa. Dengan tabligh, guru menjadikan kelas sebagai ruang yang hidup, tempat anak merasa dihargai, dan pengetahuan disampaikan dengan penuh kearifan.

Fathonah: Kecerdasan yang Membijakkan

Fathonah berarti kecerdasan dan kebijaksanaan. Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan dalam hal kecerdasan intelektual sekaligus kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Allah menegaskan:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
(QS. Al-Ahzab: 21)

Dalam pendidikan, fathonah menuntun guru untuk kreatif dalam mengajar, peka terhadap kebutuhan anak, dan mampu menyelesaikan masalah dengan arif. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus memerdekakan anak agar tumbuh sesuai kodratnya. Guru yang fathonah tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak dalam menggunakan metode yang sesuai dengan minat dan bakat siswa. John Dewey menambahkan bahwa kecerdasan sejati terlihat ketika anak diberi ruang untuk bereksperimen dan menemukan solusi melalui pengalaman. Guru yang fathonah akan menuntun anak bukan sekadar menjadi pintar, tetapi juga arif, bijak, dan mampu mengambil keputusan dalam hidup.

Pendidikan sebagai Jalan Membentuk Akhlak

Warisan nasihat almarhum H. Abdul Wahid Badri mengingatkan kita semua bahwa pendidikan bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, menumbuhkan iman, dan melahirkan akhlak mulia.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Empat sifat Nabi ini pada akhirnya bermuara pada visi Yayasan Pendidikan Bumi Kartini:
“Mencetak generasi unggul dalam prestasi, berakhlak mulia, berkepribadian Aswaja, dan berwawasan mendunia.”

Dengan merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara, Paulo Freire, dan John Dewey, kita dapat melihat bahwa sifat Nabi bukan hanya relevan bagi kehidupan beragama, tetapi juga sejalan dengan prinsip pendidikan universal: berbasis keteladanan, tanggung jawab, dialog, pengalaman, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Inilah jalan untuk memanusiakan manusia dan membentuk generasi yang berilmu sekaligus berakhlak mulia.