
Circle Time: Ruang Kecil, Makna Besar
Ditulis oleh Asmal Wafa, dipublikasi pada 13 October 2025 dalam kategori Ruang Guru“Learning! Growing! Having Fun! Manchester Champion is number one!” Suasana pagi yang hangat dimulai dengan pekik semangat itu. Wajah-wajah mungil penuh senyum, tangan kecil saling bergandengan, dan mata berbinar menatap teman-teman sebaya. Seruan semangat itu selalu membuka pagi di Kelas 2 Manchester dengan wajah-wajah ceria dan senyum penuh energi. Usai berdo’a dan senam pagi, anak-anak segera duduk melingkar saling berhadapan.It’s time for circle time!

Circle time bukan sekadar duduk melingkar. Itu adalah ruang kecil dengan makna besar. Sebuah momen ketika guru dan murid berkumpul dalam lingkaran, tanpa sekat, tanpa jarak, untuk berbagi cerita, menyamakan hati, dan memulai hari dengan rasa gembira.
Circle time lahir dari kebutuhan sederhana: menghadirkan suasana belajar yang tidak hanya soal buku dan angka, tetapi juga memberi ruang bagi anak-anak untuk didengar, dihargai, dan dipahami. Di usia sekolah dasar, perkembangan sosial dan emosional mereka tumbuh begitu cepat. Karena itu, circle time menjadi wadah aman bagi mereka untuk mengekspresikan diri.
Menurut Mosley (1996), circle time merupakan strategi pembelajaran yang memberi kesempatan anak untuk berkomunikasi, membangun rasa percaya diri, dan belajar menghargai orang lain. Lingkaran sederhana itu menciptakan suasana egaliter: semua punya suara, semua punya kesempatan, semua dihargai.

Setiap Selasa pagi, lingkaran kecil ini rutin dijalankan. Diawali dengan ice breaking—tepuk semangat, lagu singkat, atau permainan sederhana—suasana kelas pun mencair. Setelah itu, satu per satu anak mendapat giliran berbicara: ada yang bercerita pengalamannya, ada yang berbagi kebahagiaan mendapat pujian, bahkan ada yang dengan jujur mengungkapkan rasa kecewa. Tidak ada tawa mengejek, tidak ada yang menghakimi—semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Guru kemudian memandu untuk menemukan nilai dari cerita itu, seperti persahabatan, rasa syukur, atau pentingnya menghargai perbedaan. Sesekali dilain kesempatan, guru mengajak bermeditasi, membangun rasa syukur, menumbuhkan sikap peduli. Atau juga membaca cerita bersama, menelaah kata, menemukan makna dan hikmah cerita.
Kegiatan circle time juga dibuat bervariasi: berbagi perasaan dengan kalimat sederhana, permainan passing the ball untuk melatih giliran berbicara, membaca cerita inspiratif, refleksi mingguan, doa dan syukur bersama, hingga apresiasi antar teman. Aktivitas-aktivitas ini tampak sederhana, tetapi justru di sanalah letak kekuatannya. Anak-anak belajar berani berbicara, sabar mendengarkan, dan berempati pada teman. Harapannya, konflik akan semakin jarang karena mereka terbiasa menyelesaikan masalah lewat komunikasi.
Circle time membuat kelas terasa lebih hangat, anak-anak lebih percaya diri, dan ikatan persahabatan semakin erat. Penelitian dari Department for Education, UK (2015) bahkan menegaskan circle time dapat meningkatkan keterampilan sosial-emosional, mengurangi perilaku negatif, dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap komunitas kelas.
Circle time membuat kelas terasa lebih hangat, anak-anak lebih percaya diri, dan ikatan persahabatan semakin erat. Penelitian dari Department for Education, UK (2015) bahkan menegaskan circle time dapat meningkatkan keterampilan sosial-emosional, mengurangi perilaku negatif, dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap komunitas kelas.

Hal itu juga dirasakan langsung oleh anak-anak di Kelas 2 Manchester. Kanaya, misalnya, mengaku bahwa circle time selalu menjadi momen yang ditunggu. “Aku suka circle time karena bisa cerita ke teman-teman” Falah menimpali “Seru sih! Kadang ada game-nya!” Tak hanya itu, circle time juga menumbuhkan empati seperti kata Aretha “Waktu circle time aku jadi tahu perasaan teman-teman”
Lebih dari sekadar rutinitas, circle time juga menjadi jembatan menuju deep learning. Anak tidak hanya berbagi cerita, tetapi diajak merefleksikan pengalaman, menemukan makna, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan pemikiran Carol Dweck tentang growth mindset, circle time melatih anak untuk melihat pengalaman—bahkan kesalahan—sebagai peluang untuk belajar. “Circle time menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity), melatih refleksi diri (self-reflection), sekaligus mengajarkan problem solving bersama. Anak belajar bahwa kesalahan bukan untuk ditakuti, melainkan peluang untuk bertumbuh—sebuah wujud nyata dari growth mindset” (Dweck, 2006).
Dengan demikian, circle time menjadi fondasi kecil yang mendukung pembelajaran bermakna. Anak bukan hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga belajar menjadi manusia seutuhnya: berempati, berpikir kritis, dan bekerja sama.
Kegiatan ini memang hanya berlangsung sekitar 10–15 menit. Namun di balik ruang kecil itu, tersimpan pelajaran besar. Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.” Circle time memberi ruang agar kodrat itu tumbuh dengan utuh, penuh makna, dan menggembirakan.
Ruang Kegiatan

SDUT Bumi Kartini Kelas 2 Gelar Outing Class di Polres Jepara, Perpusda, dan Belajar Kreativitas Pemanfaatan Limbah
19 September 2025

PAUD Bumi Kartini Resmikan Gedung Permanen, Dihadiri Bupati dan Wabup Jepara
14 July 2025


Selengkapnya
Ruang Informasi

Pengumuman Seleksi Guru Baru Tahap II Yayasan Pendidikan Bumi Kartini Jepara Tahun 2025
9 July 2025

Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Penerimaan Guru Baru YPBK 2025
3 July 2025

Pengumuman Seleksi Administrasi – Rekrutmen Pegawai Baru YPBK 2025
24 January 2025

LAPORAN BOS SEKOLAH BUMI KARTINI
22 February 2024